Kamis, 06 Oktober 2011

mahram dan wali nikah dalam islam

PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Pernikahan dan rumah tangga sesungguhnya menempati posisi yang sangat penting dan menentukan dari jati diri sebuah bangsa. Sebab di dalam sebuah rumah tangga itulah pada calon generasi penerus itu dilahirkan sekaligus dipersiapkan. Biasanya, pernikahan yang baik akan diteruskan dengan kehidupan rumah tangga yang baik pula. Maka hasilnya adalah lahirnya generasi yang sehat jasmani rohani dan siap menjadi generasi penerus.
Maka perbaikan generasi dimulai dari sebuah pernikahan yang sehat, sejalan dengan tujuan syariah, serta mengikuti alur yang telah diridhai Allah SWT. Karena itulah kita butuh rujukan dari syariat Islam, yang menjadi pembimbing sekaligus pemberi petunjuk dan menerangi jalan, agar kita tidak tersesat atau menyimpang dari jalan yang telah Allah tetapkan.



PEMBAHASAN
A. Pengertian

Istilah mahram (مَحْرَم) berasal dari makna haram, yang maknanya adalah wanita yang haram dinikahi. Harus dibedakan antara mahram dengan muhrim. Kata muhrim berasal dari bentukan dasar ahrama-yuhrimu-ihraman (أحرم – يُحْرِمُ - إِحْراماً), yang artinya mengerjakan ibadah ihram. Dan makna muhrim itu adalah orang yang sedang mengerjakan ibadah ihram, baik haji maupun umrah.
Salah satu faktor yang paling menentukan dalam urusan boleh tidaknya suatu pernikahan terjadi adalah status wanita yang menjadi pengantin. Bila wanita itu termasuk yang haram untuk dinikahi, maka hukum pernikahan itu haram. Dan sebaliknya, bila wanita itu termasuk yang halal untuk dinikahi, maka hukumnya halal.
Tidak semua perempuan boleh dinikahi. Syarat perempuan yang boleh dinikahi ialah bukan yang haram bagi laki-laki untuk menikahinya, baik haramnya bersifat abadi (مُؤَبَّد) maupun yang tidak abadi atau sementara (غَيْرُ مُؤَبَّد). Mahram yang bersifat abadi ialah perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki sepanjang masa. Sedangkan mahram yang bersifat sementara ialah perempuan yang tidak boleh dinikahi selama waktu tertentu jika keadaannya sudah berubah, haram sementaranya hilang dan menjadi halal.

B. Mahram Yang Bersifat Abadi
Sebab-sebab haram selamanya adalah karena:
1. Nasab,
2. Pernikaan, dan
3. Susuan.
Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-Nisa : 23)

1. NASAB
Yang dimaksud mahram karena nasab adalah hubungan antara seorang perempuan dengan laki-laki masih satu nasab atau hubungan keluarga. Tetapi dalam syariat Islam, tidak semua hubungan keluarga itu berarti terjadi kemahraman. Hanya hubungan tertentu saja yang hubungannya mahram, di luar apa yang ditetapkan, maka tidak ada hubungan kemahraman.
a. Ibu kandung
Maksudnya adalah ibu yang melahirkan dirinya. Termasuk dalam pengertian ibu ialah ibu sendiri, ibunya ibu, neneknya ibu, ibunya bapak, neneknya bapak, dan terus ke atas. Dalilnya adalah potongan ayat di atas (أُمَّهَاتُكُمْ).
b. Anak Perempuan
Maksudnya adalah semua anak perempuan yang engkau lahirkan atau cucu perempuan dan terus ke bawah. Termasuk anak perempuan kandungmu dan anak-anaknya. Dalil kemahramannya adalah potongan ayat di atas (وَبَنَاتُكُمْ).
c. Saudari Kandung
Maksudnya adalah saudari wanitanya. Bisa saja sebagai kakak atau sebagai adik, keduanya sama kedudukannya, yaitu sama-sama haram untuk dinikahi. Baik posisinya sebagai saudari itu seayah-seibu, atau saudari seayah tidak seibu, atau saudari seibu tapi tidak seayah. Dalil keharaman untuk menikahinya adalah potongan ayat (وَأَخَوَاتُكُمْ).
d. Saudari Ayah
Yakni semua perempuan yang menjadi saudara ayahmu. bisa saja saudari ayah yang seayah dan seibu, atau seayah tidak seibu, atau seibu tapi tidak seayah. Dari segi usia, bisa saja yang lebih muda dari ayah (adiknya ayah), atau bisa juga yang lebih tua (kakaknya ayah). Dalil kemahraman saudari ayah adalah potongan ayat (وَعَمَّاتُكُمْ).
e. Saudari Ibu
saudari ayah atau saudari ibu tidak dibedakan panggilannya. Namun dalam syariat Islam, keduanya berbeda. Saudari ibu dalam bentuk tunggal disebut khaalah (خَالَة), sedangkan dalam bantuk jamal disebut khaalaat (خالات). Dengan dalil potongan ayat di atas (وَخَالاَتُكُمْ).
f. Keponakan dari Saudara Laki
Anak-anak wanita yang lahir dari saudara laki-laki termasuk wanita yang haram dinikahi. Dalam panggilan akrab kita, mereka termasuk keponakan. Diharamkan untuk dinikahi dengan dasar potongan ayat (وَبَنَاتُ الأَخِ).
g. Keponakan dari Saudara Wanita
Anak-anak wanita dari saudari wanita disebut keponakan. Termasuk para wanita yang haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah potongan ayat di atas (وَبَنَاتُ الأُخْتِ).
Itulah tujuh wanita yang secara nasab (keturunan dan hubungan famili) haram hukumnya untuk dinikahi oleh seorang laki-laki.



2. PENYUSUAN
Ibu susu sama dengan ibu kandung. Diharamkan bagi laki-laki yang disusui, menikah dengan ibu susunya serta dengan semua perempuan yang haram dinikahinya dari pihak ibu kandung. Jadi yang haram dinikahi, yaitu:
• Ibu susu yang menyusui,
• Ibu dari ibu yang menyusui (neneknya),
• Ibu dari bapak yang menyusui (neneknya juga),
• Saudara perempuan dari ibu susunya (bibinya),
• Saudara perempuan dari bapak susunya (bibinya juga),
• Cucu perempuan ibu susunya karena mereka menjadi anak perempuan saudara laki-laki dan perempuan sesusuan dengannya, dan
• Saudara perempuan sesusuan, baik yang sebapak maupun seibu atau sekandung.
Semua jenis susuan dapat menjadi sebab haramnya pernikahan. Akan tetapi, sebenarnya ini tidak benar kecuali karena susuan yang sempurna, yaitu seorang anak menyusu dari payudara dan menyedot susunya, dan tidak berhenti dari menyusu kecuali dengan kemaunnya sendiri tanpa sesuatu paksaan. Jika ia masih baru menyusu sekali atau dua kali, hal ini tidak menyebabkan haramnya pernikahan, karena bukan disebut menyusui dan tidak pula mengenyangkan.
a. Penyusuan Yang Mengharamkan
Tidak semua penyusuan secara otomatis mengakibatkan kemahraman. Ada beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini, antara lain :
Air Susu Manusia Wanita Baligh, Seandainya yang diminum bukan air susu manusia, seperti air susu hewan atau susu formula, maka tidak akan menimbulkan kemahraman.
Demikian juga bila air susu itu di dapat dari seorang laki-laki, atau wanita yang belum memungkinkan untuk punya anak, misalnya wanita yang belum baligh, maka para ulama sepakat penyusuan seperti tidak akan menimbulkan kemahraman.
Sampainya Air Susu ke dalam Perut, Yang menjadi ukuran sebenarnya bukan bayi menghisap puting, melainkan bayi meminum air susu. Sehingga bila disusui namun tidak keluar air susunya, tidak termasuk ke dalam kategori penyusuan yang menimbulkan kemahraman.
Sebaliknya, meski tidak melakukan penghisapan lewat putting susu, namun air susu ibu dimasukkan ke dalam botol dan dihisap oleh bayi atau diminumkan sehingga air susu ibu itu masuk ke dalam perut bayi, maka hal itu sudah termasuk penyusuan.
Namun harus dipastikan bahwa air susu itu benar-benar masuk ke dalam perut, bukan hanya sampai di mulut, atau di lubang hidung atau lubang kuping namun tidak masuk ke perut.
 Minimal 5 Kali Penyusuan
Para ulama sepakat bahwa bila seorang bayi menyusu pada wanita yang sama sebanyak 5 kali, meski tidak berturut-turut, maka penyusuan itu telah menimbulkan akibat kemahraman.
Dasarnya adalah hadits riwayat Aisyah radhiyallahuanha :
كَانَ فِيمَا أُنْزِل مِنَ الْقُرْآنِ ( عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ) ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu ada ayat yang diturunkan dengan lafadz :Sepuluh kali penyusuan telah mengharamkan. Kemudian ayat itu dihapus dan diganti dengan 5 kali penyusuan. Dan Rasulullah SAW wafat dalam keadaan para wanita menyusui seperti itu. (HR. Muslim)
Namun ada pendapat dari mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah bahwa satu kali penyusuan yang sempurna telah mengakibatkan kemahraman. Mereka mendasarinya dengan kemutlakan dalil yang sifatnya umum, dimana tidak disebutkan keharusan untuk melakukannya minimal 5 kali, yaitu ayat :
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ
Dan ibu-ibu yang telah menyusui dirimu (QS. An-Nisa : 23)
 Sampai Kenyang
Hitungan satu kali penyusuan bukanlah berapa kali bayi mengisap atau menyedot air susu, namun yang dijadikan hitungan untuk satu kali penyusuan adalah bayi menyusu hingga kenyang. Biasanya kenyangnya bayi ditandai dengan tidur pulas.
Ada pun bila bayi melepas puting sebentar lalu menghisapnya lagi, tidak dianggap dua kali penyusuan, tetapi dihitung satu kali saja. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW :
الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
Penyusuan itu karena lapar (HR. Bukhari dan Muslim)
 Maksimal 2 Tahun
Hanya bayi yang belum berusia dua tahun saja yang menimbulkan kemahraman. Sedangkan bila bayi yang menyusu itu sudah lewat usia dua tahun, maka tidak menimbulkan kemahraman.
Dalilnya adalah firman Allah SWT ;
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. Al-Baqarah : 233)
Dan juga berdasarkan hadits nabi SAW :
لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ
Tidak ada penyusuan (yang mengakibatkan kemahraman) kecuali di bawah usia dua tahun. (HR. Ad-Daruquthny)
b. Suami Menyusu Kepada Istri, Mahramkah?
Dengan dalil-dalil di atas, maka dalam kasus seorang suami menelan air susu istrinya, maka hal itu tidak akan menimbulkan kemahraman di antara mereka.
Sebab semua syarat penyusuan yang menimbulkan kemahraman tidak terpenuhi :
 Suami bukan bayi karena usianya sudah lebih dari 2 tahun
 Suami tidak akan kenyang perutnya dengan menelan air susu istrinya. Kalau pun dia meminumnya dengan jumlah yang banyak, bukan kenyang tapi malah muntah.


3. PERNIKAHAN
Penyebab kemahraman abadi kedua adalah karena mushaharah (مُصَاهَرَة), atau akibat adanya pernikahan sehingga terjadi hubungan mertua menanti atau orang tua tiri. Kemahramannya bukan bersifat sementara, tetapi menjadi mahram yang sifatnya abadi.
Di antara wanita yang haram dinikahi karena sebab mushaharah ini adalah sebagaimana firman Allah SWT yang menyebutkan siapa saja wanita yang haram dinikahi.
وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
(dan haram menikahi) ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, istri-istri anakmu dari sulbimu.(QS. An-Nisa' : 23)
a. Ibu dari istri (mertua wanita)
Seorang laki-laki diharamkan selama-lamanya menikahi ibu dari istrinya, atau mertua perempuannya. Sifat kemahramannya berlaku untuk selama-lamanya.
Bahkan meski istrinya telah meninggal dunia atau telah putus ikatan perkawinannya, misalnya karena cerai dan seterusnya, tetepi mantan ibu mertua adalah wanita yang menjadi mahram selama-lamanya.
Jadi meski sudah berstatus mantan mertua, tetapi tetap haram untuk terjadinya pernikahan antara bekas menantu dengan bekas mertuanya sendiri.
b. Anak wanita dari istri (anak tiri)
Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan, maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu. Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah wafat atau bercerai.
Namun ada sedikit pengecualian, yaitu bila pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan suami istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih boleh untuk dinikahi. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
(dan haram menikahi) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (QS. An-Nisa' : 23)
c. Istri dari anak laki-laki (menantu)
Seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi istri dari anaknya sendiri, atau dalam bahasa lain menantunya sendiri. Dasar keharamannya adalah firman Allah SWT :
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Dan (haram untuk menikahi) istri-istri dari anak-anakmu yang lahir dari sulbimu. (QS. An-Nisa' : 23)
Dan keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.
d. Istri dari ayah (ibu tiri)
Sedangkan yang dimaksud dengan istri dari ayah tidak lain adalah ibu tiri. Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai ibu, meski hanya ibu tiri. Dan status ibu tiri sama haramnya untuk dinikahi sebagaimana haramnya menikahi ibu kandung.
Dalil pengharaman untuk menikahi ibu tiri adalah firman Allah SWT :
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاء سَبِيلاً
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa' : 22)


Konsekuensi Hukum
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
 Kebolehan berkhalwat (berduaan)
 Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
 Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
C. Mahram Yang Bersifat Sementara
Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya.
Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
a. Istri Orang Lain
Seorang wanita yang masih berstatus sebagai istri dari suaminya tentu saja tidak boleh dinikahi, karena itu bisa disebut mahram. Tetapi sifat kemahramannya tidak abadi, hanya bersifat sementara.
Bila suaminya wafat atau menceraikannya, dan telah selesai masa iddah wanita itu, maka wanita itu maka boleh atau bisa saja dinikahi.
Karena kemahramannya berifat sementara, maka tidak berlaku hukum-hukum seperti kepada mahram yang bersifat abadi.
b. Saudara Ipar
Saudara ipar adalah saudara wanita dari istri, baik sebagai kakak atau adik. Saudara ipar tidak boleh dinikahi, karena seorang laki-laki diharamkan memadu dua wanita yang bersadara.
وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ
Dan memadu dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (QS. An-Nisa’ : 23)
Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka saudari ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Istilah yang populer adalah turun ranjang.
c. Masih Masa Iddah
Wantia yang telah dicerai oleh suaminya, tidak boleh langsung dinikahi, kecuali setelah selesai masa iddahnya. Masa iddahnya adalah selama 3 kali masa suci dari haidh, sebagaimana firman Allah SWT :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru' (QS. Al-Baqarah : 228)
Sedangkan wanita yang suaminya meninggal dunia, maka masa iddahnya lebih lama lagi, yaitu 4 bulan 10 hari. Hal itu ditegaskan di dalam Al-Quran :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (wajiblah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234)
Selama masa iddah itu seorang wanita wajib tinggal di dalam rumah suaminya, dan diharamkan untuk keluar rumah, berdandan serta menerima pinangan dari seorang laki-laki.
Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
d. Istri yang Ditalak Tiga
Seorang wanita yang telah ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka haram hukumnya dinikahi kembali.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS. Al-Baqarah : 230)
Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
e. Wanita pezina.
Al-Quran Al-Kariem secara tegas menyebutkan haramnya seorang laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina.
الزَّانِي لا يَنكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS. An-Nuur : 3)
Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, dimana dia sudah tidak lagi disebut wanita yang berzina, umumnya ulama membolehkannya.
Dosa zina itu adalah dosa yang bisa diampuni. Dan kalau sudah diampuni, tentu haram hukumnya menjuluki mereka sebagai pezina.
Bukankah dahulu sebelum masuk Islam, banyak di antara shahabat Nabi SAW yang berzina serta melanggar larangan Allah. Tetapi ketika sudah masuk Islam dan bertaubat, status mereka tidak boleh lagi disebut sebagai pezina.
f. Istri Yang Dili'an
Li’an adalah salah satu bentuk perceraian, dimana seorang suami mendapati istrinya berzina dan menjatuhkan tuduhan, namun tidak punya saksi selain dirinya sendiri. Di sisi lain, pihak istri menolak untuk mengakuinya.
Sehingga untuk itu digelarlah sebuah pengadilan dimana kedua belah pihak ditantang untuk saling melaknat. Seorang suami di dalam Li’an akan melaknat istrinya
Li’an disyariatkan di dalam Al-Quran :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاء إِلا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS. An-Nuur : 6-9)
Bila seorang suami telah melakukan li’an kepada istrinya, maka istrinya itu menjadi wanita yang haram untuk dinikahi.
g. Wanita Ahli Kitab
Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar