Kamis, 29 September 2011

Realisasi Iman dalam kehidupan Sosial

BAB II
Realisasi Iman dalam kehidupan Sosial
1.      Teks Hadis

     حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ[1]
“ Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman” ditanyakan kepada beliau,  siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “ yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya”. 
Adapun mengenai takhrij hadis di atas ialah di takhrij dari kitab Shahih Bukhari dan hadis ini adalah hadis yang tidak diragukan lagi akan keshahihannya, meskipun imam-imam hadis yang lain juga meriwayatkan dalam kitab-kitab mereka dengan beberapa redaksi yang berbeda, namun hal tersebut tidak mengurangi akan keshahihan hadis.
2.Tahqiq [2] dan Takhrij Hadist
Berikut tabel lengkap hadist dalam hasil pencarian :
No
Sumber
Kitab
No. Hadis
1
Shahih Bukhari
الأدب
5557
2
Ahmad
باقي مسند
7539, 8078
3
Ahmad
مسند المد نيين
15777
4
Ahmad
مسند القبا لًل
25909
5
Muslim
الاٍيمان
          66

Redaksi selengkapnya hadis-hadis tentang realisasi iman dalah kehidupan sosial adalah:
a.       Dalam riwayat Bukhari bab Adab
حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

b.      Dalam riwayat Ahmad

7539 حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْجَارُ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ *

8078 حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قِيلَ وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ *

15777 حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ وَرَوْحٌ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ وَقَالَ رَوْحٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالُوا وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْجَارُ لَا يَأْمَنُ الْجَارُ بَوَائِقَهُ قَالُوا وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ *

c.       Dalam riwayat Muslim pada bab Iman
66 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ *

Takhrij al-Hadis merupakan langkah awal dalam penelitian hadis. Adapun pengertian dari Takhrij al-Hadis yang dimaksudkan adalah proses penelusuran atau pencarian hadis dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas hadisnya [3]. Dengan demikian, tujuan dari proses ini adalah menunjukkkan sumber hadis dan menerangkan diterima atau ditolaknya hadis tersebut. Melalui kegiatan ini, berikut penelitian singkat terkait keshahihan hadist ini.
Hadis yang sedang diteliti adalah tentang realisasi iman dalah kehidupan sosial. Setelah dilakukan penelitian melalui Takhri>j al-H}adi>s| dengan cara penelusuran lewat topik hadis (موضوع الحديث) dengan tema Wallahi la yu’minu.[4] Informasi yang diperoleh adalah hadis-hadis tentang masalah tersebut terdapat dalam Sahih al-Bukhari, Musnad muslim, Ahmad. Maka hadis yang membahasnya hanya diperoleh dalam Bukhari,  Muslim, Ahmad. Pelacakan atas hadis yang sedang diteliti juga dilakukan CD Mawsuat al-Hadis al-Syarif.
            Tabel Urutan Rawi dan Sanad Hadis
No
Nama periwayat
Urutan Sebagai Rawi
Urutan sebagai Sanad
1
Asim bin Ali
Periwayat I
Sanad IV
2
Abi dhi’ban
Periwayat II
Sanad III
3
Said bin Abi Said Kasyam                
Periwayat III
Sanad II
4
Abu Suroikhin
Periwayat IV
Sanad I
6
Bukhori
Periwayat V
Mukharrij al-Hadis
Deskripsi dan penilaian ulama kritikus hadis dapat dilihat dalam pembahasan di bawah ini:
1.Asim Bin Ali ( wafat 221 H)
Nama Lengkapnya adalah Asim bin Ali bin Asim bin Mahib, wafat 221 hijriyah, periwayat ini tergolong dari kelompok tabiin, nama kuniyahnya adalah Abu Hasan, Penilaian ulama terhadap kapasitas yang ada dalam Asim bin Ali bin Asim bin Mahib  adalah seorang yang siqat.
2.      Abi dhi’ban (wafat 158 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Masyiroh, wafat158 hijriyah, periwayat ini tergolong dari kelompok tabi’in besar, nama kuniyahnya adalah Abu al-Kharos. Penilaian ulama terhadap kapasitas yang ada dalam  Muhammad bin Abdurrahman bin Masyiroh adalah seorang yang siqat.
3.      Said bin Abi Said Kasyam (wafat 123 H)
Nama lengkapnya adalah Said bin Abi Said Kasyam, wafat 123 Hijriyah, periwayat ini tergolong dari kelompok min wasati tabi’i. Nama kuniyahnya dahulu adalah Abu Said.  Penilaian ulama terhadap kapasitas yang ada dalam  Said bin Abi said Kasyam adalah seorang yang siqat.

4.      Abu Suroikhin (wafat 68 H)
Nama lengkapnya adalah Khalid Bin Umar, wafat 68 hijriyah, periwayat ini tergolong dalam kelompok  Sahabat, Nama kuniyah atau julukannya dalah Abu Sarih. Penilaian ulama terhadap kapasitas yang ada dalam Abu Suroikhin  adalah seorang yang siqat.
         Persambungan sanad dari periwayat pertama sampai akhir dapat dikatakan bersambung, karena semua periwayat mempunyai hubungan yang erat sebagai guru dan murid sesuai dengan pernyataannya maupun wafatnya baik dari Asim sampai Suroih. Di samping itu, seluruh periwayat yang meriwayatkan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan Dengan demikian, hadis ini  dari segi sanadnya adalah bernilai sahih
3. Makna Mufrodat
[5] الشرر و المصاإب             :       إق الابوا
Gangguannya                      :     بَوَايِقَهُ
Tidak beriman                :  لَا يُؤْمِنُ                                                                                  
4.      Asbab Al-wurud  hadist
Sepanjang pencarian saya terkait sabab wurud hadit ini, saya belum menemukan dalam kitab dan media manapun.
5.      Syarah dan kontekstualisasi hadist
وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
Iman menjadi suatu hal yang amat penting dalam suatu kehidupan manusia, hingga menjadi bahasan utama dalam teks hadit di atas yang berada dalam konteks sosial yaitu menghormati tetangga. Syarah hadist di atas, Nabi saw, menjelaskan bahwa seseorang yang mennganggu tetangganya berarti telah berbuat dosa, sekalipun gangguan yang dilakukannya itu ringan. Beliau juga menyatakan bahwa orang yang seperti ini bukan termasuk dalam golongan mukmin sejati yang sesuai syariat Islam.[6]
Hadits di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari persaudaraan datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt. dengan kata lain, persaudaraan yang didasarkan Illah.
Berbicara terkait kontekstualisasi. Iman, merupakan sesuatu hal yang abstrak  dimana orang lain tidak akan bisa mengetahui apa isi hati orang lainnya, Iman bahasa Arab (الإيمان) secara etimologis berarti ‘percaya’. Sedangkan sosial berasal dari bahasa latin yaitu “socius” yang artiya teman atau sahabat, maka secara istilah adalah faham pertemanan sebagai unsur pengikat dalam pergaulan masyarakat.[7]
Imam Gozali mengibaratkan antara Iman dengan akhlak atau kehidupan dengan tetangga, seperti saat memelihara atau merawat kuda, ketika kuda itu sudah dewasa dan dalam keadaan kenyang lalu kita mngeajarinya untuk berlari contohnya, bisa dipastikan kuda itu tidak akan nurut, namun ketika kuda itu kita latih sejak kecil dan di beri makan dan dilakukan secara berulang-ulang pasti kuda tersebut akan nurut dengan kita.[8] Begitu pula akhlak sosial kita yang itu di pengaruhi oleh iman, ketika akhlak sosial itu dilatih sejak dini dan dilakukan secara terus menerus maka kebiasaan kita untuk menghormati tetangga pastilah akan terasa mudah dan berhasil. Bagaikan sebuah pohon yang terdiri dari akar, batang, dandan buah. Akar sebai Iman,Batang sebagai Syari’at yang dijalani, daun danBuah sebagai Akhlak yang dihasilkan termasuk dengan cabang-cabangnya akhlak kepada tetangganga. Ketika dikatakan tidak beriman bisa dipastikan buah dari pohon tadi yaitu akhlak dengan tetangga tidaklah terlihat sempurna.
            Mengganggu tetangga dinilai sebagai sebuah dosa yang besar, karena perbuatan tersebut dapat menimbulkan pengaaruh buruk terhadap kehidupan bertetangga. Oleh karena itu setiap mukmin yang dikatakan mukmin sejati haruslah memperhatikan dan berhati-hati dalam kehidupan sosial khususnya berhubungan dengan tetangga. Ia harus senantiasa berhati-hati tatkala berbuat sesuatu sekecil apapun kepada tetangganya, karena setiap perbuatan buruk sekecil apapun kepada tetanggannya dinilai sebagai  dosa besar.
            Termasuk mengecewakan tetangga dengan sesuatu yang sebenarnya kita tidak berfikir itu akan menjadi hal yang mengganggu tetangga. Karena itu, dalam hubungan antar sesama hendaknya kita selalu mengusahakan untuk bisa menolong dan membantu orang lain. Bukan sebaliknya, selalu menghujaninya dengan berbagai permintaan dan hal-hal yang membuatnya merasa sempit, tertekan dan merugi. Selalu menggantungkan kepada orang lain dan menjadi beban baginya adalah perbuatan tidak terpuji, bahkan lambat laun akan merusak hubungan kita dengan sesama.
Para salafus shaleh sangat menjaga diri untuk tidak merepotkan apalagi menjadi beban orang lain. Suatu ketika, Abu Bakar Radhiallahu Anhu sedang berada di atas untanya, tiba-tiba cambuknya terjatuh. Sahabat yang berada di bawahnya segera hendak mengambilkannya tetapi Abu Bakar mencegah. Ia kemudian turun dan mengambilnya sendiri karena tidak mau membuat repot orang lain.[9]
Karena itu, Al Fudhail menasehatkan agar dalam bertemu dan mengunjungi saudara hendaknya kita tidak memberikan PR (pekerjaan rumah) baginya dalam suatu masalah. Maka tepat sekali ungkapan yang terkenal di kalangan orang-orang zuhud, janganlah kau ingini apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka menyayangimu. Kasih sayang dan kebahagiaan akan tercipta manakala kita senang menolong dan tak suka menjadi beban bagi orang lain.
Tidaklah dikatakan sempurna keimanan seseorang muslim adalah orang yang mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya(salah satu contoh). Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, fisik seperti dengan memeluknya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya. Kalaupun ia pernah menyakiti saudaranya tanpa disengaja, ia harus segera memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan ucapan atau lisannya, misalnya dengan fitnah, cacian, umpatan, hinaan, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh ucapan lebih sulit dihilangkan dari pada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjadinya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengatur lisan sehingga menyebabkan orang lain sakit hati.
Dengan demikian, seseorang harus beusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayanginya saudaranya seiman sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Hal itu karena menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaannya sangat penting dalam Islam. tidak heran kalau amalan sedekah akan batal jika disertai dengan sikap yang dapat menyakiti mereka yang diberi sedekah. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
Di sisi lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang. Orang yang membangun kecintaannya kepada sesamanya manusia karena Allah swt. akan mendapatkan penghormatan istimewa di hari akhirat. Orang seperti ini senantiasa memandang bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang memberi makna kepada orang lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan hidup untuk kebahagiaan bersama. Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sikap seperti ini  menyebabkan terjadinya keharmonisan hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. (رواه البخاري ومسلم).
                                                              
“Khalad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah menceritakan kepada kami dari Abi Burdah ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah bersabda: “sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim.)”
Maka sepatutnta kita “Segala tetangga yang berdampingan rumah harus diperlakukan sebagai diri sendiri, tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah. Tidak seorangpun tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya”.[10]
Sebagai kesimpulan, maka salah satu buah dari persaudaraan dengan menghormati antar sesama atau tetangganya adalah persatuan (wihdah), sebagai lawan dari (firqah) yang artinya perpecahan.[11] Masyarakat Islam yang bersaudaraadalah masyarakat sosial yang satu dalam aqidah, ibadah, akhlak, perilaku, dan tata kehidupan termasuk nilai-nilai kehidupan dengan menghormati sesama. Masyakat Islam tidak pantas bila berbecah belah seperti perbedaan-perbedaan yang ada diantara masyarakat kita Indonesia, seperti ras,kulit, budaya dan lain sebagainya sehingga dapat sama-sama menuju persatuan.
Ÿwur (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#qè%§xÿs? (#qàÿn=tF÷z$#ur .`ÏB Ï÷èt/ $tB æLèeuä!%y` àM»oYÉit6ø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur öNçlm; ë>#xtã ÒOŠÏàtã ÇÊÉÎÈ
105.  Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.

DAFTAR PUSTAKA
Cokroaminoto.Islam dan Sosialisme.1924. Jakarta : Pemuda
.
Fu’ad Abd Al-Baqi, Muhammad, Miftah Kunuz al-Sunnah (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-   ‘Arabi,             2001)

Hawa,  Sa’id. Intisari Ihya’Ulumudin Imam Gazali.2004.Jakarta : Rabbani Press

H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad Saw; Konstitusi Negara Tertulis Yang           Pertama di             Dunia, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 28.

Majdi As Sayyid, bit tasharruf waz ziyadah, dalam web :     http://bagindams.com/2009/11/realisasi-         iman-            dalam-kehidupan-sosial.html

Thalib, Muhammad. 50 Tuntunan bertetangga Islami.2002.Bandung: Irsyad Baitus Salam.            Hlm.125
           
Software Qur’an in ms Word,2003 aplication

Software hadist Maushu’at

Qardawi, Dr Yusuf.Masyarakat berbasis syariat Islam.2003.Solo : Intermedia



[1] Software hadist Maushu’at, No 5557
[2] Software Hadis Maushu’at dengan kata kunci وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ
[3] Telah di sebutkan teks hadist secara lengkap dari berbagai periwayat pada bab ke 2.
[4]Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi, Miftah Kunuz al-Sunnah (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, 2001), 212.
[5] Software Hadis Maushu’at في المعن
[6] Thalib, Muhammad. 50 Tuntunan bertetangga Islami.2002.Bandung: Irsyad Baitus Salam. Hlm.125
[7] Cokroaminoto.Islam dan Sosialisme.1924. Jakarta : Pemuda.hlm.9
[8] Sa’id Hawa. Intisari Ihya’Ulumudin Imam Gazali.2004.Jakarta : Rabbani Press
[9] Majdi As Sayyid, bit tasharruf waz ziyadah, dalam web : http://bagindams.com/2009/11/realisasi-iman-       dalam-kehidupan-sosial.html
[10] H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad Saw; Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 28.
[11] Dr Tusuf Qardawi.Masyarakat berbasis syariat Islam.2003.Solo : Intermedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar